عَنْ أَبِي عَمْرِو الشَّيْبَانِي -وَاسْمُهُ سَعْدُ بْنُ إِيَاس- قَالَ : حَدَّثَنِي صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ -وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ ( 1) t- قَالَ : سَأَلْتُ النَّبِيَّ : أَيُّ العَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ ؟ قَالَ : ((الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا)). قُلْتُ : ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ : ((بِرُّ الوَالِدَيْنِ)). قُلْتُ : ثُمَّ أَيٌّ ؟ قال : ((الجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ)). قَالَ : حَدَّثَنِي بِهِنَّ رَسُولُ اللهِ , وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
 

 “Saya bertanya kepada Nabi, ‘Apakah amal yang paling dicintai oleh Allah?’ (Dalam satu riwayat: yang lebih utama) Beliau bersabda, ‘Shalat pada waktunya’ Saya bertanya, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau bersabda, ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Saya bertanya, ‘Kemudian apa lagi’? Beliau bersabda, ‘Jihad (berjuang) di jalan Allah.”‘ Ia berkata, “Beliau menceritakan kepadaku. (Dalam satu riwayat: “Saya berdiam diri dari Rasulullah.”) Seandainya saya meminta tambah, niscaya beliau menambahkannya.” (H.R. Bukhari, hadits Shahih dan terdapat di dalam Shahih Bukhari)

1.Shalat

Asal makna shalat menurut bahasa Arab berarti doa, kemudian yang dimaksud di sini adalah: “ibadat yang tersusun dari beberapa perkataan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir, diakhiri dengan salam dan menurut beberapa syarat yang ditentukan”.

Shalat adalah rukun Islam  yang kedua, ia adalah tiangnya agama. Barang siapa yang mendirikan shalat berarti ia telah menegakkan agamanya, dan barang siapa yang meninggalkannya ia telah menghancurkan agamanya (al-Hadits).

Demikian pula shalat adalah ibadah  yang pertama kali dihisab oleh Allah swt. Bila seorang muslim shalat maka amal ibadah yang lainnya akan diperhitungkan oleh Allah swt. tetapi bila dia tidak shalat maka amaliyahnya tidak dianggap (al-Hadits).

Urgensi Shalat

Sebagaimana telah kita maklumi bersama, bahwa shalat adalah tiang agama. Kewajiban dan syi'ar agama Islam yang paling utama adalah shalat. 


الصلاة عماد الدين، فمن أقامها فقد أقام الدين ومن تركها فقد هدم الدين.

"Shalat adalah tiang agama. Orang yang telah mendirikan shalat, dia telah mendirikan agama, namun bagi siapa saja yang meninggalkan shalat berarti dia telah menghancurkan agama."

Shalat juga merupakan ibadah yang pertama kali akan dimintakan pertanggung jawabannya dari manusia pada hari kiamat kelak.
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ. (رواه الترميذي وأحمد وابن ماجه)

“Sesungguhnya amal ibadah seseorang yang paling pertama kali dihisab adalah shalatnya. Jika shlalatnya di nilai baik, maka bahagia dan tenanglah dia. Namun jika shalatnya rusak, maka rugi dan sengsaralah dia. Adapun jika di antara shalatnya ada yang kurang sempurna, maka Allah Azza wajalla berfirman: periksalah kembali wahai para malaikat, apakah dia suka melaksanakan shalat sunah. Jika ada, sempurnakanlah shalatnya dengannya shalat sunnahnya tersebut. Seperti itulah perhitungan amal ibadahnya yang lain.” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Nasa’i).

Shalat merupakan garis pemisah antara keimanan dan kekufuran. Ia adalah sesuatu yang membedakan antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang inkar, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadisnya:

قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَيْنَ الْكُفْرِ وَالْإِيمَانِ تَرْكُ الصَّلَاةِ (رواه النسائي، الترميذي: حَدِيثٌ حَسَنٌ، وأحمد)
"Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat”. (HR. Nasa’i, Tirmidzi dan Ahmad).
Bahkan shalat merupakan senjata ampuh bagi manusia untuk mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar.
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ (العنكبوت: 45)
Sesungguhnya shalat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mukar (Al-Ankabut: 45)

Namun pada kenyataannya, mengapa ada dari kita yang tidak menjadikan shalat sebagai pencegah kekejian dan kemunkaran? Mengapa ibadah shalat kita tidak mempunyai pengaruh sama sekali dalam kehidupan kita sehari-hari? Mengapa ada dari kita, bahkan tidak sedikit, ia juga mendirikan shalat tapi ia juga berbohong. Dia shalat, tapi dia juga mencuri. Dia shalat, tapi dia juga mempermainkan perempuan, dia tidak segan-segan berkata cabul dan jorok. Dia shalat, tapi di lain waktu dia juga tidak pernah alpa untuk selalu hadir di depan televisi menonton acara-acara vulgar dan tidak mendidik.

Makna Khusyu’
Disebutkan dalam Tafsir Al-Wasith yang ditulis oleh Syeikh Al-Azhar, Muhammad Ali Tonthowi , makna khusyuk adalah: “ketakutan dalam hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang terlihat pada anggota badan, menjadikannya tenang dan merasakan bahwa berdiri menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu saja ini adalah pekerjaan yang berat dan harus dilatih terus menerus.  Adapun beberapa langkah  untuk lebih khusyuk dalam shalat, secara umum telah dibahas dalam banyak kitab-kitab , Di antaranya sebagai berikut:

Pertama: 
Menyadari fungsi dan pentingnya shalat. Ia tidak lagi merasa shalat sebagai sebuah kewajiban, tetapi sebagai sebuah kebutuhan yang akan berakibat baik bagi dirinya sendiri, di dunia maupun akhirat.

Kedua: 
Istihdhor Al-Qalb (Konsentrasi). Yakni mengosongkan hati dari hal hal yang mengganggu dan mencampuri konsentrasi ketika shalat. Karenanya disyariatkan niat di awal shalat sebagai pintu awal menata hati dan menghadirkannya. 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. juga mengingatkan godaan syetan ketika manusia tengah shalat . Dari Utsman bin Abi Ash, ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. dan mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syaitan telah menghalangi shalatku dan mengganggu bacaanku. ”Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. berkata: “itu adalah syaitan yang bernama Khonzab, jika engkau merasakan maka bertaawudzlah (minta perlindungan kepada Allah), dan meludahlah ka arah kiri tiga kali “(HR. Bukhari)

Ketiga: 
Tafahum li ma’nal Kalam (Mengetahui Arti lafal). Dengan memahami makna bacaan yang kita lafalkan, maka akan membantu kekhusyukan dalam shalat, karena kita menghayati sepenuhnya doa-doa yang ada di dalamnya.

Keempat: 
Ta’dzhiim lillah (Penghormatan dan Pengagungan). Yaitu merasakan keagungan Allah dan sebaliknya kekerdilan kita sebagai hamba-Nya. Hal ini akan memunculkan ketakutan saat sedang menjalani Shalat. Tidak ada kesombongan sedikit pun saat kita shalat.

Kelima: 
Dzkirul Maut (Mengingat Mati). Kita merasa bahwa shalat kita ini adalah yang terakhir yang akan kita kerjakan, di mana setelahnya malaikat maut datang menjemput ajal kita. Perasaan ini menumbuhkan suasana kebatinan yang luar biasa, membantu shalat kita jauh lebih khusyuk dari sebelumnya. Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اذكر الموت في صلاتك، فإن الرجل إذا ذكر الموت في صلاته لحري أن يحسن صلاته، و صل صلاة رجل لا يظن أن يصلي صلاة غيرها "
Ingatlah mati dalam shalatmu , karena sesungguhnya jika orang mengingat mati dalam shalatnya tentu ia akan memperbagus shalatnya. Shalatlah seperti orang tidak yakin ia akan dapat melakukan shalat selainnya. (HR. Dailami, dishahihkan oleh Albani)
Tujuan dan Hikmah Shalat

Shalat adalah ibadah yang diwajibkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan (Q.S. Al-Baqarah/ 2 : 45).

Artinya: “Jadikanlah sabar dan Shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya  yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’

Karena Allah Mengetahui bahwa manusia butuh kebahagiaan maka Shalat diwajibkan kepada orang yang beriman. Sedangkan tujuan Shalat dalam Islam adalah untuk menjadikan manusia yang menegakkannya selalu ingat kepada Allah Swt. Allah berfirman dalam QS. 20:14 :

Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang hak selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah Shalat untuk mengingat-Ku.

Bila seorang muslim dalam hari-harinya senantiasa ingat kepada Allah Swt. maka hatinya akan menjadi tenang. Bila hatinya sudah tenang, maka dia akan merasakan kebahagiaan. Sedang pengertian kebahagiaan yang dipahami kaum materialis adalah materi. Firman Allah QS. Yunus/10 : 7-8.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tentram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami. Mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan (QS. Yunus: 7-8).

Shalat yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi pelakunya adalah mereka yang mendirikan Shalat sebagaimana Shalatnya Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana sabda Nabi:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
Artinya:“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat saya Shalat.” (HR. Bukhari). 
Dari Hadits ini dapat dipahami bahwa gerak dalam shalat bukan sembarang gerak, tetapi harus seperti geraknya Nabi dan bacaan dalam shalat bukan sembarang bacaan, tetapi harus seperti membacanya Nabi saw. Sabda nabi Muhammad saw.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ
Artinya: “Bila seseorang di antara kalian sedang shalat, maka sesungguhnya dia sedang bermohon (sedang berbisik, sedang berdialog) dengan Tuhannya (Allah Swt). (HR. Bukhari ).

Sekarang kita bertanya: “Apa benar waktu saya sedang shalat saya sedang berbisik, sedang bermohon padanya…?  ataukah kita sedang berbicara sendirian karena tidak mengerti apa yang sedang kita ucapkan….? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing. Namun lebih jelasnya Allah swt. berfirman dalam surat An-Nisaa ayat 43

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan… (An-Nisaa’: 43).

Bila seorang muslim dengan shalat yang didirikannya menjadikan dia ingat kepada Allah sehingga terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar, maka jiwanya akan tentram sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ra'du ayat 28:

Artinya: Orang-orang yang beriman dan hati mereka tentram dengan mengingat Allah, ketauhilah dengan mengingat Allah hati menjadi tentram (QS. Ar-Ra'du: 28)

Dan bila hati kita sudah tentram, maka jelas hidup akan bahagia, karena bahagia itu adanya dalam ketentraman hati.

Karena tujuan shalat untuk mengingat Allah, maka bacaan shalat dari takbir sampai dengan salam kalau dipahami dan diperhatikan, tidak ada satu kalimatpun yang tidak mengantarkan pelakunya dari mengingat Allah.

2.Berbakti Kepada Ibu Bapak
Berbuat baik terhadap orang tua (birrul walidain) adalah memberi kebaikan atau berkhidmat kepada keduanya serta mentaati perintahnya (kecuali yang ma’siat) dan mendoa’kannya apabila keduanya telah wafat.
Ibu dan Bapak sebagai orang tua sudah selayaknya mendapatkan kebaikan dan penghormatan dari anaknya. Islam sangat perhatian mengenai masalah ini, sebagaimana sangat jelas ditegaskan dalam firman Allah yang berbunyi:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) terhadap kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah, bahkan menyusukan pula selama kurang lebih 2 tahun. Maka dari itu bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku sajalah tempat kamu kembali” (QS.31:15). Juga dapat dilihat dalam surat 4:36

Jelaslah bahwa Birrul Walidain adalah kewajiban setiap anak dalam kerangka ta’at kepada perintah Allah.
Suatu hari ada seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Dia bertanya, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai harta kekayaan dan anak. Sementara ayahku berkeinginan menguasai harta milikku dalam pembelanjaan. Apakah yang demikian ini benar?” Maka jawab Rasulullah, “Dirimu dan harta kekayaanmu adalah milik orang tuamu.” (Riwayat Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah).

Begitulah, syari’at Islam menetapkan betapa besar hak-hak orang tua atas anaknya. Bukan saja ketika sang anak masih hidup dalam rengkuhan kedua orang tuanya, bahkan ketika ia sudah berkeluarga dan hidup mandiri. Tentu saja hak-hak yang agung tersebut sebanding dengan besarnya jasa dan pengorbanan yang telah mereka berikan. Sehingga tak mengherankan jika perintah berbakti kepada orang tua menempati ranking ke dua setelah perintah beribadah kepada Allah dengan mengesakan-Nya. Allah berfirman, “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada ibu bapakmu.” (An-Nisa:36)

Sebagai anak, sebenarnya banyak hal yang dapat kita lakukan untuk mengekspresikan rasa bakti dan hormat kita kepada kedua orang tua. Memandang dengan rasa kasih sayang dan bersikap lemah lembut kepada mereka pun termasuk birrul walidain. Allah berfirman, “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang.” (Al-Isra’:23)

Dalam kitab “Adabul Mufrad, Imam Bukhari mengetengahkan sebuah riwayat bersumber dari Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir melalui Urwah, menjelaskan mengenai firman Allah : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang.” Maka Urwah menerangkan bahwa kita seharusnya tunduk patuh di hadapan kedua orang tua sebagaimana seorang hamba sahaya tunduk patuh di hadapan majikan yang garang, bengis, lagi kasar.

Kisah Uwais al-Qorni
Dari Asir bin Jabir beliau mengatakan, “Jika para gubernur Yaman menemui khalifah Umar Ibnul Khatthab, maka khalifah selalu bertanya, “Apakah diantara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir”, sampai suatu hari beliau bertemu dengan Uwais, beliau bertanya, “engkau Uwais bin Amir?”, “Betul” Jawabnya. Khalifah Umar bertanya, “Engkau dahulu tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qorn?”, “Betul,” sahutnya. Beliau bertanya, “Dulu engkau pernah terkena penyakit belang lalu sembuh akan tetapi masih ada belang di tubuhmu sebesar uang dirham?”, “Betul.” Beliau bertanya, “Engkau memiliki seorang ibu.” Khalifah Umar mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Uwais bin Amir akan datang bersama rombongan orang dari Yaman dahulu tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qorn. Dahulu dia pernah terkena penyakit belang, lalu sembuh, akan tetapi masih ada belang di tubuhnya sebesar uang dirham. Dia memiliki seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepada ibunya. Seandainya dia berdoa kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan doanya. Jika engkau bisa meminta kepadanya agar memohonkan ampun untukmu kepada Allah maka usahakanlah.” Maka mohonkanlah ampun kepada Allah untukku, Uwais al-Qarni lantas berdoa memohonkan ampun untuk Umar Ibnul Khaththab. Setelah itu Umar bertanya kepadanya, “Engkau hendak pergi ke mana? “Kuffah,” jawabnya. Beliau bertanya lagi, “Maukah ku tuliskan surat untukmu kepada gubernur Kuffah agar melayanimu? Uwais al-Qorni mengatakan, “Berada di tengah-tengah banyak orang sehingga tidak dikenal itu lebih ku sukai.” (HR. Muslim)
Bentuk-bentuk Birrul Walidain

Berbuat baik kepada orang tua dapat dilakukan dalam dua kesempatan:
Saat orang tua masih hidup:
• Mentaati selama bukan maksiat. Hadits Rasulullah: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Allah”.
Contoh: Kisah Sa’ad bin Abi Waqosh.
• Bersikap rendah hati dan berbicara lemah lembut (QS.17:23)
• Memohonkan ampunan baginya kepada Allah (mendoa’kan) (QS.17:24)
• Membantu dengan harta
• Memintakan restunya terlebih dahulu atas perbuatan penting yang akn dilakukan.
Hadits Rasulullah: “Ridho Allah ada dalam Ridho orang tua, Murka Allah juga ada dalam Murkanya orang tua”.
Saat orang tua telah wafat:
• Menyelenggarakan pengurusan jenazahnya seperti: memandikannya, mengkafaninya, menshalatkannya dan menguburkannya,dsb.
• Senantiasa berdo’a untuk memohonkan ampun atas segala dosanya.
• Memenuhi segala janjinya semasa hidup yang belum terlaksana seperti: wasiat, hutang piutang, dll.
• Menghormati teman dan sahabat orang tua semasa keduanya masih hidup.
Rasulullah Muhammad S.A.W bersabda :
” Seorang laki-laki dari golongan Anshar mendatangi Rasulullah , lalu bertanya : ‘Apakah yang tinggal bagiku untuk dapat berbuat kebaikan terhadap Ibu-Bapakku setelah mereka meninggal ya Rasulullah ? Rasul menjawab : ‘Ada 4 macam yang dapat anda lakukan : menshalatkannya, memohonkan ampun segala dosanya, memenuhi janjinya dan juga menghormati teman dan sahabatnya. (HR. Muslim)

Jangan Durhaka !
Durhaka kepada orang tua (‘uquuqul walidain) termasuk dalam kategori dosa besar. Bentuknya bisa berupa tidak mematuhi perintah, mengabaikan, menyakiti, meremehkan, memandang dengan marah, mengucapkan kata-kata yang menyakitkan perasaan, sebagaimana disinggung dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan ‘ah’ kepada orang tua.” (Al-Isra’ : 23). Jika berkata ‘ah/cis/huh’ saja nggak boleh, apalagi yang lebih kasar daripada itu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Barangsiapa membuat hati orang tua sedih, berarti dia telah durhaka kepadanya.” (Riwayat Bukhari). Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda, “Termasuk perbuatan durhaka seseorang yang membelalakkan matanya karena marah.” (Riwayat Thabrani).

Orang tua kita, siapa pun orangnya, memang harus dihormati, apalagi jika beliau seorang muslim. Rasulullah pernah berpesan, “Seorang muslim yang mempunyai kedua orang tua yang muslim, kemudian ia senantiasa berlaku baik kepadanya, maka Allah berkenan membukakan dua pintu surga baginya. Kalau ia memiliki satu orang tua saja, maka ia akan mendapatkan satu pintu surga terbuka. Dan kalau ia membuat kemurkaan kedua orang tua maka Allah tidak ridha kepada-Nya.” Maka ada seorang bertanya, “Walaupun keduanya berlaku zhalim kepadanya?” Jawab Rasulullah, “Ya, sekalipun keduanya menzhaliminya.” (Riwayat Bukhari)

Berhubungan dengan orang tua memang harus hati-hati. Jangan sampai hanya karena emosi, kelalaian, ketidaksabaran plus rasa ego kita yang besar, kita terjerumus ke dalam ‘uququl walidain yang berarti kemurkaan Allah. Na’udzubillah. Bukankah dalam sebuah hadits Rasulullah pernah berpesan bahwa keridhaan Allah berada dalam keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada dalam kemarahan orang tua? Dus, selagi masih ada waktu dan kesempatan, tunjukkanlah cinta, sayang, hormat, dan bakti kita kepada keduanya, hanya untuk satu tujuan: meraih cinta, ampunan, pahala, dan ridha-Nya…

3.Jihad Di jalan Allah
Seperti diterangkan dalam al Qur’an dan as Sunnah kemudian dibukukan dalam ratusan kitab fiqh oleh ulama’ salafus sholeh dan ulama’-ulama’ zaman sekarang (dan mu’tabar; jadi rujukan dan pegangan umat Islam), bisa diringkas;

Secara bahasa kata “al-jihaad” berasal dari kata “jaahada”, yang bermakna “al-juhd” (kesulitan) atau “al-jahd” (tenaga atau kemampuan).Imam Ibnu Mandzur dalam Kitab Lisaan al-’Arab nya, secara bahasa, al-jihaad artinya;mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik berupa perkataan maupun perbuatan.

Dalam kitab Syarh al-Qasthalaani ‘alaa Shahiih al-Bukhaariy dinyatakan sebagai berikut Kata jihaad merupakan pecahan dari kata al-jahd, dengan huruf jim difathah yang berarti: at-ta’b (lelah) dan al-masyaqqah (sulit). Sebab, kelelahan dan kesulitan yang ada di dalamnya bersifat terus-menerus. Kata jihaad bisa merupakan bentuk pecahan dari kata al-juhd dengan “jim” didhammah, yang berarti: at-thaaqah (kemampuan atau tenaga). Sebab, masing-masing mengerahkan tenaganya untuk melindungi shahabatnya.

Di dalam al-Quran dan Sunnah, kata jihaad diberi arti baru oleh syariat dari arti asal (bahasanya) atau menuju makna yang lebih khusus, yaitu, “mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung, dengan bantuan keuangan, pendapat (pemikiran), memperbanyak kuantitas (taktsiir al-sawaad) ataupun yang lain (Ibn ‘Abidiin, Haasyiyah, juz III, hal. 336) Dengan demikian, ketika kata “jihad” disebut, secara otomatis orang akan memaknainya dengan makna syariatnya –berperang di jalan Allah”, bukan dengan makna bahasanya. Jihad dengan makna khusus ini, bisa ditemukan pada ayat-ayat Madaniyah. Sedangkan kata jihad di dalam ayat-ayat Makkiyah, maknanya merujuk pada makna bahasanya (bersungguh-sungguh).

Para ulama empat madzhab juga telah sepakat bahwa jihad harus dimaknai sesuai dengan hakekat syariatnya, yakni berperang di jalan Allah baik secara langsung maupun tidak langsung.

Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”. Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah perang.

Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah dalam al Mughni-nya berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.

Jihad Ofensif dan Jihad Defensif
Dr. Mohammad Khair Haekal di dalam kitab al-Jihad wa al-Qital menyatakan, bahwa sebab dilaksanakannya jihad fi sabilillah bukan hanya karena adanya musuh (jihad defensif), akan tetapi juga dikarenakan tugas Daulah Islamiyyah dalam mengemban dakwah Islam ke negara lain, atau agar negara-negara lain tunduk di bawah kekuasaan Islam (jihad ofensif).

Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas minimal jihad yang dilakukan oleh negara. Imam al-Mawardiy dalam kitab al-Iqnaa’, hal.175 menyatakan, “Hukum jihad adalah fardlu kifayah, dan imamlah yang berwenang melaksanakan jihad…ia wajib melaksanakan jihad minimal setahun sekali, baik ia pimpin sendiri, atau mengirim ekspedisi perang.”

Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-Zain, “Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun, tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara”.

Berdasarkan pendapat di atas dapatlah disimpulkan bahwa jihad yang dilakukan oleh kaum Muslim bisa berujud jihad ofensif maupun defensive. Jadi jihad itu bukan terorisme, dan jihad tidak sama dan tidak identik dengan terminologi kekerasan.

Terakhir dan terpenting dari segalanya adalah bahwa jihad harus dilaksanakan demi Allah, bukan untuk memperoleh tanda jasa, pujian, apalagi keuntungan duniawi.

Firman Allah dalam QS. al- Hajj (22): 78

Terjemahannya:
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.
Mujahid adalah yang mencurahkan seluruh kemmpuannya dan berkorban dengan nyawa atau tenaga, pikiran, emosi, dan apa saja yang berkaitan dengan diri manusia. Jihad adalah cara untuk mencapai tujuan. Caranya disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan dengan modal yang tersedia. Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, bahkan, tidak pula pamrih.

Dengan demikian beraneka ragam jihad dari segi lawan dan buahnya. Ada jihad melawan orang-orang kafir, munafik, setan, hawa nafsu dan lain-lain. Buahnyapun berbeda-beda. Jihad seorang ilmuwan adalah pemanfaatan ilmunya; Pemimpin adalah keadailannya; pengusaha adalah kejujurannya; Pemangkul senjata adalah kemerdekaan dan penaklukan manusia yang zalim. Semua jihad, apapun bentuknya dan siapapun lawannya, harus karena Allah dan tidak boleh berhenti sebelum berhasil atau kehabisan modal. Itula yang dimaksud dengan  (حق جهاده) haqq jihadihi dalam firman-Nya di atas.

Mereka yang berjihad pasti diberi petunjuk dan jalan untuk mencapai cita-citanya. Firman Allah dalam QS. al-Ankabut (29): 69

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Disamping itu para mujahid akan memdapatkan ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. Firman Allah dalam QS. al-Anfal (8): 74; Akan diberikan derajat yang tinggi dan mendapatkan kemenangan (QS. al- Taubah (9): 20; dan mendapatkan keberuntungan (QS. al-Maidah (5): 35.

 
Top